Tuesday, 11 July 2017

Perumpamaan orang yang membaca al-Quran dikalangan  mukmin dan munafik


Perumpamaan orang yang membaca al-Quran dikalangan  mukmin dan munafik

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الْأُتْرُجَّةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ التَّمْرَةِ طَعْمُهَا حُلْوٌ وَلَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ. رواه الدارمي

“Dari Anas bin Malik dari Abu Musa Al Asy'ari dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Baginda bersabda: "Perumpamaan orang mukmin yang membaca al- Quran seperti buah utrujah yang harum baunya dan rasanya enak, perumpaman orang mukmin yang tidak membaca al- Quran seperti buah kurma yang rasanya manis namun tidak berbau harum, perumpamaan orang munafik yang membaca al- Quran seperti tanaman Raihanah yang berbau harum namun rasanya pahit, sedangkan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al- Quran seperti tanaman hanzhalah yang tidak berbau lagi rasanya pahit." HR Darimi 

Dari Abu Musa Al Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَعْمَلُ بِهِ كَالأُتْرُجَّةِ ، طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ ، وَالْمُؤْمِنُ الَّذِى لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَعْمَلُ بِهِ كَالتَّمْرَةِ ، طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلاَ رِيحَ لَهَا ، وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالرَّيْحَانَةِ ، رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ ، وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِى لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالْحَنْظَلَةِ ، طَعْمُهَا مُرٌّ – أَوْ خَبِيثٌ – وَرِيحُهَا مُرٌّ



Perumpamaan orang mukmin yang membaca al- Quran dan mengamalkannya adalah bagaikan buah utrujah, rasa dan baunya enak. Orang mukmin yang tidak membaca al- Quran dan mengamalkannya adalah bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak beraroma. Orang munafik yang membaca al- Quran adalah bagaikan royhanah, baunya menyenangkan namun rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca al- Quran bagaikan hanzholah, rasa dan baunya pahit dan tidak enak.” HR. Bukhari

Utrujah itu baunya wangi , kalau dirasakan buahnya pun sedap.Oleh kerana itu orang yang membaca al- Quran bukan sekadar membaca dan menghafal. Namun hendaknya Al-Qur’an tersebut boleh diamalkan. Semakin banyak mengkaji Al-Qur’an, semestinya semakin bagus iman dan akhlaknya. Kerana sifat orang yang membaca Al-Qur’an itu akan tercium wanginya. Ertinya, ia akan terbuktikan dalam amal dan perilakunya keseharian.

Bukan sebaliknya ….

Semakin banyak mengaji, malah semakin tidak baik pada suami/ istrinya di rumah, semakin tidak berbakti pada ibu/ bapanya, semakin keras pada tetangga, semakin tidak santun pada masyarakat sekitar.
Moga perilaku kita boleh selaras dengan tuntunan al- Quran dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Membaca
al- Quran bukan sekadar dibaca. Namun yang terpenting adalah direnungkan dan diamalkan isi kandungannya. Banyaknya membaca al-Quran jika dibandingkan  dengan membaca al- Quran dengan penuh renungan (tadabbur), tentu dengan penuh tadabbur itu lebih utama (afdhal).

Menurut Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, juga selain keduanya, membaca al- Quran dengan tartil dan penuh tadabbur (renungan) itu lebih utama daripada membaca al- Quran dengan cepat meskipun dihasilkan banyak bacaan. Kerana memang maksud membaca al-Quran adalah memahami dan merenungkan isinya, juga ditambah dengan boleh mengamalkan isi kandungannya. Sedangkan membaca dan menghafal Al Qur’an adalah jalan untuk boleh memahami maknanya.

كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”. Shaad:29

“Objektif utama Al Qur’an itu diturunkan adalah untuk diamalkan"
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
“(Masa yang diwajibkan kamu berpuasa itu ialah) bulan Ramadan yang padanya diturunkan Al-Quran, menjadi petunjuk bagi sekalian manusia, dan menjadi keterangan-keterangan yang menjelaskan petunjuk dan (menjelaskan) perbezaan antara yang benar dengan yang salah.”al-Baqarah:185)
Makanya, dari dulu lagi yang namanya sebagai ahli al-Quran adalah orang yang faham dan mengamalkan isi kandungan Al Qur’an (bukan hanya sekadar bacaan atau bukan sekadar menghafal). Walaupun ahli al-Quran di sini tidaklah menghafalkan al-Quran . Adapun jika ada yang menghafalkan al-Quran namun tidak memahami dan juga tidak mengamalkan isinya, maka ia bukanlah ahli al-Quran walaupun dia menepati piawai mengucapkan huruf-hurufnya.

Para ulama yang berpendapat pentingnya tadabbur dibanding banyak qiro’ah (baca) juga memberikan alasan lain bahwa iman tentu saja sebaik-baik amalan. Memahami al-Quran dan merenungkannya akan membuahkan iman. Adapun jika al-Quran cuma sekadar dibaca tanpa ada pemahaman dan renungan (tadabbur), maka itu boleh pula dilakukan oleh orang fajir (ahli maksiat) dan munafik, di samping dilakukan oleh pelaku kebaikan dan orang beriman. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالرَّيْحَانَةِ ، رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ
Perumpamaan orang munafik yang membaca Al Qur’an adalah seperti buah rayhanah. Bau buah tersebut enak, namun rasanya pahit.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengabarkan bahwa kelak akan muncul satu golongan orang yang membaca al-Qur’an namun tidak melepasi kerongkongan. Apa maknanya dan siapakah mereka?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَخْرُجُ نَاسٌ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ، ثُمَّ لاَ يَعُودُونَ فِيهِ حَتَّى يَعُودَ السَّهْمُ إِلَى فُوقِهِ
“Akan keluar manusia dari arah Timur dan membaca al-Quran namun tidak melepasi kerongkongan mereka. Mereka melusur keluar dari agama sebagaimana halnya anak panah yang melesat/melusur keluar dari busurnya. Mereka tidak akan kembali kepadanya hingga anak panah kembali ke busurnya” (HR. Bukhari)

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan, maksud al-Quran tidak melepasi kerongkogan adalah tidak diangkat kepada Allah, tidak ada nilainya di sisi Allah. Jika kerongkongan saja tidak terlepas, maka sudah tentu ia tidak akan sampai ke hati.
Tidak hanya bacaannya tidak melepasi kerongkong, tidak hanya bacaanya tidak sampai ke hati, tidak hanya bacaannya tidak berpahala, tidak hanya bacaannya tidak bernilai di sisi Allah, namun orang yang disebutkan dalam hadits tersebut juga keluar dari agama sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya.
Oleh itu, siapakah orang yang dimaksud dalam hadits tersebut? Secara khusus menurut Ibnu Hajar, orang-orang tersebut adalah orang-orang khawarij dan secara umum adalah orang-orang munafik.


No comments:

Post a Comment