Sunday, 14 August 2016

Sudut Feqah:Sejarah Perkahwinan Rasulullah SAW (poligami)


Sejarah Perkahwinan Rasulullah SAW

Rasulullah berkahwin dengan  Khadijah  dalam 25 tahun, usia muda-remaja, dengan perawakan yang indah dan paras rupa yang begitu tampan, gagah dan tegap. Namun sungguhpun begitu, Khadijah

adalah satu-satu isterinya selama 28 tahun, sehingga usia 50-an.

Nabi Muhammad hidup hanya dengan Khadijah selama 17 tahun sebelum kerasulannya dan 11 tahun sesudah itu. Dan pada waktu itu pun sama sekali tidak  terlintas dalam fikirannya untuk berkahwin lagi dengan wanita lain. Baik pada masa Khadijah masih hidup, ataupun sebelum beliau bekahwin dengan Khadijah, belum pernah terdengar bahwa beliau termasuk orang yang mudah tergoda dengan  kecantikan wanita,padahal waktu itu mereka belum memakai hijab.Setelah Khadijah wafat, Rasulullah berkahwin dengan Saudah binti Zam'ah, janda Sakran bin Amr bin Abd Syams. Tidak ada suatu sumber yang menyebutkan, bahwa Saudah adalah seorang wanita cantik, berharta atau mempunyai kedudukan yang akan memberi pengaruh duniawi dalam pernikahan itu. Saudah adalah termasuk  salah seorang isteri orang yang  mula-mula memeluk lslam,.Termasuk dalam kumpulan orang-orang yang awal membela agama Allah dan turut memikul pelbagai macam penderitaan. Ia dan suaminya turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan oleh Nabi untuk berhijrah ke seberang lautan itu.Dan setelah itu Rasulullah kemudian menikahinya, ini adalah dengan tujuan untuk memberikan perlindungan hidup dan untuk memberikan tempat setaraf dengan Ummul Mukminin.Adapun Aisyah dan Hafshah adalah putri-putri dua orang sahabat  dekatnya iaitu Abu Bakar dan Umar. Rasulullah mengikatkan tali kekeluargaan dengan dua orang sahabatnya  dengan ikatan perkahwinan dengan putri-putri mereka.Begitu  juga halnya dengan perkahwinan Usman dan Ali dengan puteri Baginda SAW iaitu sebagai ikatan kekeluargaan.


Telah kita ketahui, bahwa Rasulullah menikahi Aisyah atau Hafshah bukan  karena cintanya atau karena suatu dorongan berahi, tapi karena hendak memperkokoh ikatan masyarakat Islam yang baru tumbuh dalam diri dua orang pembantu dekatnya itu. Sama halnya ketika beliau menikahi Saudah, maksudnya supaya pejuang-pejuang   Muslimin itu mengetahui, bahwa kalau mereka gugur dalam membela agama Allah, maka isteri dan anak-anak mereka tidak akan dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan.

Pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Khuzaimah dan Ummu Salamah  mempertegaskan lagi hal tersebut. Zainab adalah isteri Ubaidah bin Harits bin Muthalib yang syahid dalam Perang Badar. Dia tidak cantik, hanya terkenal karena kebaikan hatinya dan suka menolong orang, sehingg ia diberi gelaran Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin). Umurnya pun sudah tidak muda lagi. Hanya setahun atau dua tahun sesudah itu, ia pun meninggal. Setelah Khadijah, dialah satu-satunya istri Nabi yang telah

wafat mendahului Baginda SAW. Sedangkan Ummu Salamah sudah banyak anaknya sebagai isteri Abu Salamah, yang wafat akibat luka yang dideritanya dalam Perang Uhud. Empat bulan setelah  kematian Abu Salamah, Rasulullah meminang Ummu Salamah. Tetapi wanita ini menolak dengan lemah lembut karena ia sudah banyak anak dan sudah tidak muda lagi. Namun akhirnya, ia bersetuju dinikahi oleh

Rasulullah SAW yang akan bertindak mengurus dan memelihara anak-anaknya.Dari apa yang sudah dihuraikan di atas,dapatlah disimpulkan bahwa Rasulullah menganjurkan agar hanya beristeri seorang sahaja  dalam kehidupan biasa. Anjuran dari Rasulullah SAW dapat dilihat dari contoh perkahwinan

beliau dengan Khadijah dalam satu tempoh masa yang lama.

 

Untuk itu, Allah berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ

 

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Al-Nisa: ayat 3.

 

[265]  berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.

[266]  Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al-Nisa:129.

Ayat-ayat ini turun pada akhir-akhir tahun kelapan Hijrah, setelah Rasulullah berkahwin dengan semua isterinya, maksudnya untuk membatasi jumlah isteri itu sampai  empat orang, sementara sebelum turun ayat tersebut pembatasan tidak ada. Ini juga yang telah menggugurkan kata-kata orang, bahwa Rasulullah membolehkan untuk  dirinya sendiri dan melarang untuk orang lain. Kemudian turun ayat yang memperkuat diutamakan satu isteri dan menganjurkan demikian karena dibimbangi tidak dapat

untuk berlaku adil, dengan penekanan bahawa berlaku adil itu sebagai syarat untuk berkahwin lebih dari satu. Demikian pula dengan pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy, bekas isteri Zaid, bekas hamba dan anak angkatnya.

Allah SWT berfirman:

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا ) الأحزاب/37

Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia[1219] supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya[1220]. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

[1219]  Maksudnya: setelah habis idahnya.

[1220]  yang dimaksud dengan Orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam.Nabi Muhammad SAW. pun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. Ayat Ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.

Rasulullah SAW adalah suri tauladan dalam segala perkara, yang mana Allah telah perintahkan dan telah dibebankan agar menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia. Beliau tidak takut akan apa yang dikatakan orang dalam hal perkawinannya dengan isteri bekas hambanya itu. Takut kepada manusia tidak ada artinya dibandingkan dengan takutnya kepada Allah dalam melaksanakan segala perintah-Nya. Beliau menikahi Zainab supaya menjadi teladan akan apa yang telah dihapuskan Allah

Mengenai hak-hak yang sudah ditentukan dalam hal bapak dan anak angkat.
Hubungan Nabi Muhammad dengan isteri-isterinya adalah hubungan yang sungguh  terhormat dan agung, seperti dalam keterangan Umar bin Al-Khathab. Dan contoh  semacam itu akan banyak dijumpai dalam sejarah kehidupan beliau. Semua itu akan menjadi contoh yang berbicara sendiri, bahawa belum ada seorang pun yang dapat menghormati wanita seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Belum ada seorang pun yang dapat mengangkat martabat wanita ke tempat yang layak seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.

No comments:

Post a Comment