Sejarah
Perkahwinan Rasulullah SAW
Rasulullah berkahwin
dengan Khadijah dalam 25 tahun, usia muda-remaja, dengan perawakan
yang indah dan paras rupa yang begitu tampan, gagah dan tegap. Namun sungguhpun
begitu, Khadijah
adalah
satu-satu isterinya selama 28 tahun, sehingga usia 50-an.
Nabi Muhammad
hidup hanya dengan Khadijah selama 17 tahun sebelum kerasulannya dan 11 tahun
sesudah itu. Dan pada waktu itu pun sama sekali tidak terlintas dalam
fikirannya untuk berkahwin lagi dengan wanita lain. Baik pada masa Khadijah
masih hidup, ataupun sebelum beliau bekahwin dengan Khadijah, belum pernah
terdengar bahwa beliau termasuk orang yang mudah tergoda dengan
kecantikan wanita,padahal waktu itu mereka belum memakai hijab.Setelah Khadijah
wafat, Rasulullah berkahwin dengan Saudah binti Zam'ah, janda Sakran bin Amr
bin Abd Syams. Tidak ada suatu sumber yang menyebutkan, bahwa Saudah adalah
seorang wanita cantik, berharta atau mempunyai kedudukan yang akan memberi
pengaruh duniawi dalam pernikahan itu. Saudah adalah termasuk salah seorang isteri orang yang mula-mula memeluk lslam,.Termasuk dalam
kumpulan orang-orang yang awal membela agama Allah dan turut memikul pelbagai
macam penderitaan. Ia dan suaminya turut berhijrah ke Abisinia setelah
dianjurkan oleh Nabi untuk berhijrah ke seberang lautan itu.Dan setelah itu Rasulullah
kemudian menikahinya, ini adalah dengan tujuan untuk memberikan perlindungan
hidup dan untuk memberikan tempat setaraf dengan Ummul Mukminin.Adapun Aisyah
dan Hafshah adalah putri-putri dua orang sahabat dekatnya iaitu Abu Bakar dan Umar. Rasulullah
mengikatkan tali kekeluargaan dengan dua orang sahabatnya dengan ikatan perkahwinan dengan putri-putri
mereka.Begitu juga halnya dengan perkahwinan Usman dan Ali dengan puteri
Baginda SAW iaitu sebagai ikatan kekeluargaan.
Telah kita ketahui, bahwa Rasulullah menikahi Aisyah atau Hafshah bukan karena cintanya atau karena suatu dorongan berahi, tapi karena hendak memperkokoh ikatan masyarakat Islam yang baru tumbuh dalam diri dua orang pembantu dekatnya itu. Sama halnya ketika beliau menikahi Saudah, maksudnya supaya pejuang-pejuang Muslimin itu mengetahui, bahwa kalau mereka gugur dalam membela agama Allah, maka isteri dan anak-anak mereka tidak akan dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan.
Pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Khuzaimah dan Ummu Salamah mempertegaskan lagi hal tersebut. Zainab adalah isteri Ubaidah bin Harits bin Muthalib yang syahid dalam Perang Badar. Dia tidak cantik, hanya terkenal karena kebaikan hatinya dan suka menolong orang, sehingg ia diberi gelaran Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin). Umurnya pun sudah tidak muda lagi. Hanya setahun atau dua tahun sesudah itu, ia pun meninggal. Setelah Khadijah, dialah satu-satunya istri Nabi yang telah
wafat
mendahului Baginda SAW. Sedangkan Ummu Salamah sudah banyak anaknya sebagai isteri
Abu Salamah, yang wafat akibat luka yang dideritanya dalam Perang Uhud. Empat
bulan setelah kematian Abu Salamah, Rasulullah meminang Ummu Salamah.
Tetapi wanita ini menolak dengan lemah lembut karena ia sudah banyak anak dan
sudah tidak muda lagi. Namun akhirnya, ia bersetuju dinikahi oleh
Rasulullah SAW
yang akan bertindak mengurus dan memelihara anak-anaknya.Dari apa yang sudah dihuraikan
di atas,dapatlah disimpulkan bahwa Rasulullah menganjurkan agar hanya beristeri
seorang sahaja dalam kehidupan biasa. Anjuran
dari Rasulullah SAW dapat dilihat dari contoh perkahwinan
beliau dengan
Khadijah dalam satu tempoh masa yang lama.
Untuk itu, Allah berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ
مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى
أَلاَّ تَعُولُواْ
Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265],
Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Al-Nisa: ayat
3.
[265] berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam
meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat
lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan
syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah
pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi
poligami sampai empat orang saja.
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ
حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ
وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al-Nisa:129.
Ayat-ayat ini
turun pada akhir-akhir tahun kelapan Hijrah, setelah Rasulullah berkahwin
dengan semua isterinya, maksudnya untuk membatasi jumlah isteri itu
sampai empat orang, sementara sebelum turun ayat tersebut pembatasan
tidak ada. Ini juga yang telah menggugurkan kata-kata orang, bahwa Rasulullah
membolehkan untuk dirinya sendiri dan melarang untuk orang lain. Kemudian
turun ayat yang memperkuat diutamakan satu isteri dan menganjurkan demikian
karena dibimbangi tidak dapat
untuk berlaku
adil, dengan penekanan bahawa berlaku adil itu sebagai syarat untuk berkahwin
lebih dari satu. Demikian pula dengan pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti
Jahsy, bekas isteri Zaid, bekas hamba dan anak angkatnya.
Allah SWT
berfirman:
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ
عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا
اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا
قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ
وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا ) الأحزاب/37
Dan (ingatlah), ketika kamu
Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu
(juga) Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan
bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa
yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah
yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri
keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan
dia[1219] supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini)
isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah
menyelesaikan keperluannya daripada isterinya[1220]. dan adalah ketetapan Allah
itu pasti terjadi.
[1219] Maksudnya: setelah habis idahnya.
[1220] yang dimaksud dengan Orang yang Allah Telah
melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah Telah melimpahkan
nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam.Nabi Muhammad SAW. pun telah
memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi
anak. Ayat Ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri
anak angkatnya.
Rasulullah SAW
adalah suri tauladan dalam segala perkara, yang mana Allah telah perintahkan
dan telah dibebankan agar menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia. Beliau
tidak takut akan apa yang dikatakan orang dalam hal perkawinannya dengan isteri
bekas hambanya itu. Takut kepada manusia tidak ada artinya dibandingkan dengan
takutnya kepada Allah dalam melaksanakan segala perintah-Nya. Beliau menikahi
Zainab supaya menjadi teladan akan apa yang telah dihapuskan Allah
Mengenai
hak-hak yang sudah ditentukan dalam hal bapak dan anak angkat.
Hubungan Nabi Muhammad dengan isteri-isterinya adalah hubungan yang sungguh terhormat dan agung, seperti dalam keterangan Umar bin Al-Khathab. Dan contoh semacam itu akan banyak dijumpai dalam sejarah kehidupan beliau. Semua itu akan menjadi contoh yang berbicara sendiri, bahawa belum ada seorang pun yang dapat menghormati wanita seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Belum ada seorang pun yang dapat mengangkat martabat wanita ke tempat yang layak seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Hubungan Nabi Muhammad dengan isteri-isterinya adalah hubungan yang sungguh terhormat dan agung, seperti dalam keterangan Umar bin Al-Khathab. Dan contoh semacam itu akan banyak dijumpai dalam sejarah kehidupan beliau. Semua itu akan menjadi contoh yang berbicara sendiri, bahawa belum ada seorang pun yang dapat menghormati wanita seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Belum ada seorang pun yang dapat mengangkat martabat wanita ke tempat yang layak seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
No comments:
Post a Comment